Rasulullah saw tidak mempunyai manhaj selain Al Quran. Beliau tidak mempunyai fakulti, institut, mahupun sekolah untuk mendidik, selain masjid. Murid-muridnya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat lainnya. Dari madrasah itulah peradaban Islam terbina untuk mengubah dunia dengan manhajnya. Adakah anda melihat sebuah madrasah yang lebih bersih dan lebih aktif dari madrasah itu? Satu kaum yang duduk di atas pasir. Universitinya dihampari pelepah kurma. Pembatasnya adalah iman. Dan kesatuan hati menambah ikatan mereka. Pada awalnya. mereka adalah sedikit, kemudian membentuk kafilah yang disegani. Mereka dihujani dengan cemuh, cerca dan ugutan kemudian berubah menjadi ’role model’ dan ikutan. Mereka menjadi berwibawa dengan agama ini.
“Padahal kekuatan (kewibawaan) itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan kaum Mukminin. Akan tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (Al Munaafiquun, 63:8 )
Dari madrasah itulah lahir orang paling cerdas dan cergas yang pernah lahir ke dunia, yang menjadi guru dunia dalam segala keutamaan dan ilmu pengetahuan. Itulah madrasah yang dicurahi rahmat, dibacakan padanya ayat-ayat Allah, bersinar di dalamnya cahaya Rabbul ‘Alimin, sehingga kelak para alumninya menjadi guru-guru dunia.
Ada pertanyaan yang mendalam tentang generasi yang ditarbiyah secara langsung oleh Rasulullah saw itu: Apa yang mereka mimpikan? Apa yang mereka fikirkan? Apa yang mereka inginkan? Setinggi manakah cita-cita kelompok yang berkumpul secara sembunyi-sembunyi itu dan dipulaukan pula oleh kaum mereka sendiri?
Tidak ada yang mereka inginkan selain mengisi pemikiran manusia dengan akal baru; menegakkan agama baru di muka bumi; mereka membangun peradaban manusia; menghubungkan antara langit dan bumi sambil mengatakan, “Kepada-Mu kami mengabdi dan kepada-Mu pula kami memohon pertolongan;” dan mereka ingin memberi petunjuk kepada manusia, dengan izin Rabb mereka, kepada aturan baru, dan kemanusiaan baru. Mereka ingin menghimpun hati manusia untuk menuju kepada Tuhan manusia. Mereka ingin memasukkan perasaan baru di hati manusia yang pada gilirannya membentuk mereka menjadi umat terbaik yang diorbitkan untuk manusia, sebagaimana yang dikehendaki oleh Rabb manusia. Itu semua dilakukan dengan tarbiyah yang bertumpu pada tiga tonggak, yang dengannya mereka membuktikan pengabdian kepada Allah Rabb sekalian alam. Ketiga tonggak itu adalah:
Pertama: Iman yang mendalam.
Iman yang membersihkan segala tujuan selain tujuan dakwah mereka. Mereka telah mendengar seruan. Lalu mereka berlari menuju Allah lantas menjadikan ‘laa ilaaha illallah’ sebagai syi’ar mereka seraya menganggap kecil semua selain itu. Mereka tidak tertarik dengan peradaban Parsi dan Romawi, tidak pula dengan kemajuan materialistik mereka pada masa itu. Mereka juga tidak disibukkan oleh kemajuan ilmu yang dicapai oleh orang sebelum mereka. Sebab, orang-orang itu menuhankan selain Allah. Dan Parsi, begitupun tinggi pencapaian kemajuan, namun mereka berada dalam kesesatan kerana menyembah syahwat dan hawa nafsu mereka. Dan apa yang ada di bumi beredar dalam orbit kesesatan bila tidak mengambil petunjuk dan cahaya Allah.
Begitulah mereka memandang peradaban yang ada di sekitar mereka. Kerana memang demikianlah madrasah Rasul mengajar mereka. Madrasah itu mengajar dan mendidik mereka bahawa mereka berada dalam kebenaran yang nyata. Sebab, mereka telah membersihkan diri dari athisme, hawa nafsu, dan syahwat mereka, dan mempersembahkan semua itu kepada Allah. Mereka tidak beribadah kepada selain Allah. Tidak tunduk selain kepada Allah. Tidak bersandar selain kepada Allah. Tidak memohon selain kepada Allah. Tidak merasakan kenikmatan selain saat mereka merasa dekat dengan Allah. Mereka tidak merasakan penderitaan kecuali dengan dosa yang mereka lakukan akibat jauh dari Allah. Hal-hal itulah yang mempersatukan hati mereka, setelah mereka mengetahui bahawa bumi ini akan Allah wariskan kepada orang yang Dia kehendaki dan bahawa kesudahan yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa. Mereka hanya berpegang pada sibghah (celupan) Allah:
“(Pegang teguhlah) celupan Allah. Dan siapakah lagi yang lebih baik celupannya dari pada (celupan) Allah.” (Al Baqarah, 2: 138)
Kedua: Cinta, ukhuwwan dan kesatuan hati hati yang unggul dan kepaduan rohani.
Atas hal apa mereka berselisih? Atas sekecil keuntungan dunia? Atas perbezaan peringkat, pangkat, gelaran, padahal mereka mengetahui,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al Hujuraat, 49: 13)
Tidak ada faktor-faktor yang membuat mereka – para pencipta sejarah dan peradaban rabbani itu – berpecah dan kesatuan mereka pincang. Makanya mereka bersatu dan menjadi saudara di jalan Allah. Tidak seorang pun menghina yang lainnya. Bahkan masing-masing mencintai saudaranya itu melebihi cinta kepada dirinya sendiri. Sebab, mereka membaca firman Allah:
“Katakanlah jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta yang kamu kumpulkan, perdagangan yang kamu khuaatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan siksa-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (At-Taubah, 9: 24)
Cinta mereka di jalan Allah. Benci mereka kerana Allah. Mereka memberi kerana Allah. Tidak memberi, juga kerana Allah. Lalu terceluplah kehidupan mereka dengan cinta dan dengan cinta itu pula mereka mendakwahi manusia. Begitulah mereka ditarbiyah.
Ketiga: Mereka juga dibina untuk berkorban dan berjihad
Mereka juga dibina untuk berkorban dan berjihad sehingga mendorong mereka mempersembahkan segala yang mereka miliki kepada Allah, Rabb sekalian alam.
Sampai-sampai ada di antara mereka yang berkeberatan untuk menerima ghanimah yang padahal dihalalkan Allah, hingga Allah menurunkan ayat,
“Makan makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu sebagai makanan yang halal lagi baik.” (Al Anfal, 8: 69).
Jadi, dalam hal yang halal saja mereka amat hati-hati dan meninggalkannya kerana menginginkan perhitungan dari Allah. Mereka ingin bahawa dalam amal mereka tidak tercemari dengan debu-debu kecintaan terhadap dunia. Dengan cara itu mereka keluar dari kehinaan menuju kejayaan, dari keterasingan menuju kesatuan, dan dari kebodohan menuju ilmu. Merekalah pembangun peradaban dan pemberi petunjuk kepada manusia dalam erti yang sesungguhnya. Dan semua itu mereka peroleh dari pensucian (tazkiyah) yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan